Selamat Datang đź‘‹ Join Discord Premium CryptoSharia

Join Komunitas

DiscordWhatsApp

Sejarah Penggunaan Emas, Uang Logam, dan Uang Kertas hingga Era Digital

Sejarah Penggunaan Emas, Uang Logam, dan Uang Kertas hingga Era Digital
SejarahUangEmasUang LogamUang KertasEkonomi
11 Oktober 2025

Uang merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia, namun bentuk dan konsep uang telah berevolusi selama ribuan tahun.

Sebelum ada uang seperti sekarang (baik fisik maupun digital), manusia melewati berbagai tahap mulai dari barter, penggunaan komoditas berharga, hingga terciptanya uang logam, uang kertas, dan akhirnya uang fiat serta transaksi digital. Berikut ini kita akan menelusuri perjalanan sejarah uang secara komprehensif dan mudah dipahami.

Awal Mula Penggunaan Emas sebagai Alat Tukar dan Penyimpan Nilai

Sebelum mengenal uang, masyarakat kuno mengandalkan barter, yaitu menukar barang atau jasa secara langsung. Sistem barter ini punya kendala karena mengharuskan “double coincidence of wants”, yakni kedua pihak harus sama-sama membutuhkan barang yang ditawarkan satu sama lain. Kesulitan barter mendorong manusia mencari alat tukar universal yang diterima luas dan bernilai stabil.

Emas (dan perak) kemudian muncul sebagai solusi awal. Sejak ribuan tahun lalu, logam mulia seperti emas digunakan sebagai alat tukar dan penyimpan nilai karena memenuhi berbagai syarat ideal sebagai uang. Beberapa keunggulan emas/perak sebagai alat tukar antara lain:

  • Langka: Jumlah emas terbatas sehingga nilainya tinggi dan tidak mudah tergerus inflasi.
  • Tahan lama: Emas tidak berkarat atau rusak seiring waktu, sehingga dapat disimpan lama.
  • Mudah dibentuk/divisibilitas: Emas dapat dilebur, dibagi menjadi unit kecil, atau dicetak menjadi bentuk yang seragam.
  • Bernilai tinggi per unit berat: Sejumlah kecil emas memiliki nilai besar, memudahkan transportasi nilai kekayaan.

Karena sifat-sifat di atas, emas dan perak sejak awal dihargai tinggi di berbagai peradaban. Contohnya, sekitar 1500 SM bangsa Mesir Kuno sudah memakai batangan emas dan perak sebagai media pertukaran dalam perdagangan (meski saat itu belum berbentuk koin resmi). Emas juga diincar sebagai simbol kekayaan dan diperebutkan dalam peperangan pada era kuno. Dengan menggunakan emas, masyarakat memiliki “alat ukur” nilai yang relatif konsisten dan dapat diandalkan sebagai penyimpan kekayaan lintas generasi.

Selain digunakan langsung sebagai alat tukar (misalnya emas ditimbang untuk membayar suatu barang), logam mulia juga dijadikan standar nilai. Nama mata uang di beberapa negara pun berasal dari kata emas/perak, misalnya kata “rupee” di India berarti perak, dan “gulden” di Belanda berarti emas. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya peran emas/perak dalam fondasi sistem keuangan awal.

Transisi ke Uang Logam (Koin) dan Peran Pemerintah dalam Pencetakan Koin

Seiring meningkatnya perdagangan, membawa emas atau perak dalam bentuk bongkahan atau batangan menjadi kurang praktis. Maka, muncullah inovasi uang logam (koin) — logam mulia dicetak dalam keping-keping standar yang lebih mudah digunakan. Bangsa Lydia (di wilayah Turki sekarang) diyakini sebagai pencipta uang logam pertama di dunia sekitar abad ke-7 SM. Mereka mencetak koin dari electrum (campuran emas 75% dan perak 25%) bergambar singa, yang dikenal sebagai koin stater[8]. Koin Lydia ini memiliki ukuran dan berat seragam, sehingga memudahkan penilaian harga tanpa perlu menimbang setiap transaksi.

Koin emas Lydia abad ke-6 SM, salah satu uang logam pertama di dunia. Koin ini terbuat dari logam electrum (campuran emas-perak) dan dianggap sebagai pelopor standar koin logam.

Pencetakan koin oleh pemerintah atau kerajaan membawa beberapa keuntungan penting:

  • Standardisasi Nilai: Setiap koin memiliki berat, ukuran, dan kadar logam tertentu yang distandarkan. Ini memastikan nilai intrinsik koin relatif sama untuk setiap unit, mempermudah transaksi.
  • Cap/Stempel Resmi: Penguasa biasanya menambahkan cap atau simbol kerajaan pada koin sebagai penanda keaslian dan legalitas. Cap ini menumbuhkan kepercayaan bahwa koin tersebut sah dan bernilai sesuai kadarnya (tidak dipalsukan atau dikurangi kandungan logamnya).
  • Portabilitas: Koin lebih mudah dibawa daripada membawa barang barter atau batangan logam besar. Misalnya, koin emas/perak dapat dimasukkan ke kantong, sehingga transaksi dalam jumlah besar lebih praktis.
  • Pembagian Nilai: Koin tersedia dalam berbagai denominasi (misal 1, 1/2, 1/4 stater, dll.), memudahkan transaksi bernilai kecil maupun besar dengan kombinasi koin.

Setelah Lydia memperkenalkan uang koin, gagasan ini cepat menyebar. Bangsa Yunani Kuno turut mengadopsi koin dan bahkan ikut menyempurnakan desainnya, sehingga koin menjadi alat tukar luas di wilayah Mediterania. Kekaisaran Persia pada masa Darius I (abad ke-6 SM) juga mencetak koin emas (daric) dan perak (siglos) sebagai mata uang standar kerajaan Persia.

Pada era Romawi Kuno, penggunaan koin mencapai puncaknya dalam skala luas. Romawi mencetak koin perak (denarius) dan koin emas (aureus) yang diedarkan dari Eropa (Britania) hingga Timur Tengah. Koin Romawi begitu terpercaya nilainya sehingga bahkan setelah Kekaisaran Romawi runtuh, kerajaan-kerajaan Eropa masih meniru sistem dan standar koin tersebut. Uang logam bukan hanya alat beli, tapi juga simbol kekuasaan: penguasa yang kuat biasanya menerbitkan koin dengan wajah atau lambangnya sebagai tanda kedaulatan. Koin emas khususnya dianggap melambangkan kejayaan dan stabilitas kerajaan.

Singkatnya, transisi dari emas batangan ke uang logam menandai keterlibatan pemerintah/otoritas dalam sistem moneter. Dengan mencetak koin, pemerintah menjamin nilai uang tersebut (full-bodied money), artinya nilai nominal koin sebanding dengan nilai logamnya. Selama beberapa abad, emas dan perak dalam bentuk koin menjadi andalan perdagangan di berbagai belahan dunia.

Sejarah Munculnya Uang Kertas: Dari Surat Janji Bayar hingga Uang Kertas Dijamin Emas

Seiring perkembangan ekonomi, penggunaan koin logam dalam jumlah besar mulai menemui kendala. Logam mulia terbatas jumlahnya, dan untuk transaksi besar diperlukan koin dalam jumlah atau bobot yang sangat banyak, yang merepotkan dari segi penyimpanan dan pengangkutan. Masalah ini mendorong inovasi berikutnya dalam sejarah uang, yakni uang kertas.

Penggunaan uang kertas pertama kali tercatat di Tiongkok pada masa Dinasti Tang (abad ke-7–10 M). Kala itu dikenal istilah “uang terbang” (flying cash), semacam nota kredit yang digunakan para pedagang dan pejabat untuk memudahkan transaksi tanpa membawa koin yang berat. Sistemnya: pedagang menyetor koin atau barang berharga di suatu tempat, lalu menerima kuitansi kertas. Kuitansi ini dapat ditebus di tempat lain untuk mengambil barang/uang yang setara, sehingga berfungsi mirip wesel bank. Uang terbang tersebut merupakan cikal bakal uang kertas karena menjadi dokumen bernilai yang diperjualbelikan.

Pada masa Dinasti Song sekitar abad ke-11 M, Tiongkok mengembangkan uang kertas resmi yang dikenal sebagai Jiaozi. Jiaozi adalah bentuk promissory note (surat janji bayar) pertama dalam sejarah yang diterbitkan pemerintah lokal sebagai mata uang kertas. Uang kertas Jiaozi ini awalnya tidak memiliki denominasi standar (nilainya ditulis sesuai kebutuhan transaksi) dan dapat ditukar penuh dengan koin logam yang disimpan sebagai cadangannya. Menariknya, uang kertas zaman Song berukuran besar (seukuran kertas A4) dan memuat ancaman hukuman bagi pemalsu, menunjukkan upaya awal untuk menjaga kepercayaan publik terhadap uang kertas.

Perkembangan serupa terjadi kemudian di dunia Barat. Sekitar abad ke-17, bank-bank di Eropa mulai menerbitkan bank notes atau surat uang sebagai representasi simpanan emas/perak. Misalnya, Bank of Stockholm di Swedia mengeluarkan uang kertas pada tahun 1661, dan Bank of England tidak lama berselang menerbitkan notes yang bisa ditukar dengan koin emas. Intinya, bank memberikan surat janji bayar kepada deposan emas: kertas tersebut berjanji untuk membayar sejumlah emas kepada “pembawa” surat itu. Surat janji bayar inilah awal sejarah munculnya uang kertas sebagai alat tukar. Selama surat tersebut dipercaya bisa ditukar kembali dengan emas/perak yang disimpan, masyarakat bersedia menggunakannya sebagai uang.

Fungsi uang kertas awal: Pada tahap ini, uang kertas sebenarnya merupakan representative money, yaitu mewakili nilai komoditas (emas/perak) yang disimpan. Setiap lembar uang kertas dijamin 100% oleh cadangan logam mulia, dan pemegangnya dapat menukarkannya dengan emas/perak sesuai nominal tertulis. Dengan kata lain, uang kertas beredar sebagai bukti kepemilikan emas/perak yang tersimpan aman di pandai emas atau bank.

Penggunaan uang kertas membawa revolusi perdagangan karena memudahkan transaksi berskala besar tanpa harus memindahkan emas/perak fisik. Misalnya, seorang saudagar bisa membawa sekumpulan surat kredit alih-alih peti berisi koin, sehingga perjalanan dagangnya lebih aman dan ringan. Uang kertas juga memungkinkan ekonomi berkembang lebih cepat karena peredaran kredit menjadi lebih luas.

Namun, ada syarat penting: kepercayaan masyarakat. Uang kertas hanya berfungsi jika orang-orang yakin bahwa kertas itu benar-benar bisa ditebus dengan nilai setara (misal emas) atau diterima oleh orang lain. Pada awal kemunculannya, uang kertas memerlukan kepercayaan penuh terhadap pihak yang mengeluarkannya — entah itu pedagang kaya, bank, ataupun pemerintah. Jika kepercayaan hilang (misalnya karena penerbit bangkrut atau tidak mampu menukar kertas dengan emas), maka uang kertas itu akan jatuh nilainya.

Dari Standar Emas ke Uang Fiat (Tidak Ditopang Fisik)

Hingga awal abad ke-20, banyak mata uang dunia masih dikaitkan langsung dengan emas. Sistem ini disebut Gold Standard (standar emas), di mana uang kertas suatu negara dapat dikonversi menjadi emas dengan nilai tetap. Contohnya, Inggris resmi menerapkan standar emas pada tahun 1821, memastikan setiap pound sterling ditukar dengan sejumlah emas tertentu[29]. Selama era standar emas klasik (±1870–1914), negara-negara besar mematok mata uangnya terhadap emas, sehingga kurs antar mata uang pun menjadi tetap berdasarkan paritas emas masing-masing. Sistem ini memberikan stabilitas nilai karena pemerintah tidak bisa mencetak uang melebihi cadangan emas yang mereka miliki.

Namun, standar emas juga memiliki kelemahan: kurang fleksibel menghadapi krisis. Saat Depresi Ekonomi 1930-an dan perang dunia, banyak negara kesulitan karena pasokan uang terbatas oleh emas yang dimiliki. Akibatnya, satu per satu negara meninggalkan standar emas agar bisa mencetak uang dan menggerakkan ekonomi (meski risiko inflasi meningkat)[31]. Puncaknya, pada tahun 1971 Amerika Serikat menghentikan konvertibilitas dolar terhadap emas, mengakhiri secara resmi sistem standar emas internasional. Sejak itu, mayoritas negara menganut sistem uang fiat penuh.

Uang fiat adalah uang yang tidak lagi didukung komoditas fisik seperti emas atau perak, melainkan nilainya dijamin oleh kepercayaan pada pemerintah atau bank sentral yang menerbitkannya. Dengan kata lain, uang kertas modern tidak bisa lagi ditukar menjadi emas di bank sentral. Nilai rupiah, dolar, dll. ditentukan oleh mekanisme ekonomi (permintaan-penawaran) dan kebijakan pemerintah, bukan oleh kandungan logam tertentu.

Transisi ke uang fiat terjadi pasca Perang Dunia II. Perjanjian Bretton Woods (1944) sempat mencoba menetapkan sistem mata uang tetap dengan dolar AS dipatok emas, namun akhirnya runtuh pada 1971 sebagaimana disebut di atas. Sejak standar emas ditinggalkan, semua mata uang utama dunia mengambang nilainya berdasarkan kepercayaan pasar. Kepercayaan kolektif inilah yang membuat selembar kertas 100 ribu rupiah bernilai, meski kertas itu sendiri tidak terbuat dari emas/perak.

Perkembangan ini didukung oleh munculnya bank sentral modern di hampir setiap negara (Bank Indonesia, Federal Reserve, dll.). Bank sentral berperan mengatur suplai uang, menjaga stabilitas harga, dan menjadi penerbit tunggal uang kertas/logam resmi. Dengan kewenangan ini, pemerintah dapat mencetak uang sesuai kebutuhan ekonomi, tanpa dibatasi cadangan emas. Tentu hal ini menuntut disiplin kebijakan moneter, karena mencetak uang berlebihan bisa memicu inflasi tinggi.

Singkatnya, dari representative money yang dulu dijamin emas 100%, uang kertas berevolusi menjadi fiat money yang hanya bernilai karena kesepakatan. Uang fiat bergantung pada keyakinan bahwa orang lain akan menerima uang tersebut dalam transaksi, serta jaminan pemerintah bahwa uang itu sah untuk pembayaran (legal tender).

Perkembangan Sistem Keuangan Modern: Uang Giral, Kredit, dan Uang Digital

Memasuki abad ke-20 dan 21, sistem keuangan berkembang semakin kompleks. Tidak semua uang berwujud lembaran kertas atau koin logam (uang kartal). Muncul konsep uang giral, yakni uang yang berupa simpanan di bank dan dapat berpindah tangan melalui mekanisme kliring, cek, atau transfer. Uang giral ini sebenarnya hanya catatan saldo di sistem perbankan, namun fungsinya sama dengan uang tunai karena dapat digunakan membayar. Sistem perbankan modern dengan cadangan fraksional memungkinkan bank menciptakan uang giral baru saat memberi pinjaman, sehingga jumlah uang beredar bertambah melebihi uang kartal fisik yang dicetak. Hal ini menambah efisiensi ekonomi karena kredit dapat mendorong pertumbuhan, meski perlu pengawasan agar tidak terjadi gelembung utang.

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi kemudian mendorong lahirnya uang elektronik dan transaksi digital. Kartu kredit pertama diluncurkan tahun 1950-an (misalnya Diners Club tahun 1950) dan dengan cepat menjadi alat pembayaran populer secara global. Dengan kartu kredit, orang dapat berbelanja sekarang dan membayar nanti, tanpa uang tunai. Ini merubah pola konsumsi dan sistem pembayaran, didukung jaringan perbankan yang mencatat transaksi secara terpusat.

Selanjutnya, muncul ATM, kartu debit, dan internet banking di akhir abad ke-20, yang memungkinkan nasabah mengakses uang giral secara elektronik. Transaksi bisa dilakukan via transfer bank antar rekening tanpa warkat, pembayaran tagihan via mobile, dan sebagainya. Kini, dompet digital (e-wallet) dan aplikasi pembayaran melalui ponsel semakin umum, menggantikan keharusan membawa uang tunai. Misalnya, kita bisa membayar belanja hanya dengan scan QR code dari saldo uang elektronik.

Ilustrasi peralihan ke era uang digital: Uang kertas Rupiah di atas papan ketik menggambarkan integrasi antara mata uang fisik dan transaksi elektronik masa kini.

Di abad ke-21, kita juga menyaksikan kemunculan mata uang digital murni yang tidak berwujud fisik sama sekali. Contoh paling terkenal adalah cryptocurrency seperti Bitcoin yang diperkenalkan tahun 2009. Berbeda dari uang bank sentral, Bitcoin tidak dikendalikan pemerintah manapun, melainkan berjalan di jaringan blockchain terdesentralisasi. Teknologi ini memungkinkan pencatatan transaksi pada buku besar publik yang aman tanpa otoritas tunggal. Selain Bitcoin, ribuan kripto lain bermunculan (Ethereum, Litecoin, dll.) dengan berbagai fitur. Meskipun adopsi kripto masih terbatas dan volatilitasnya tinggi, fenomena ini menunjukkan lanjutan evolusi uang di era digital: keinginan akan alat tukar yang efisien, aman, dan global.

Pada tahap ini, uang telah bertransformasi menjadi digit di layar komputer. Banyak negara mengembangkan konsep CBDC (Central Bank Digital Currency) — uang digital resmi bank sentral — untuk mengikuti tren digitalisasi dan mempertahankan kedaulatan moneter. Terlepas dari bentuknya yang semakin abstrak, fungsi dasar uang sebagai medium of exchange, unit of account, dan store of value tetap sama. Hanya media dan infrastrukturnya yang berbeda.

Mengapa Uang Dipercaya oleh Masyarakat?

Pertanyaan penting muncul: jika uang modern tidak lagi terbuat dari emas/perak, mengapa kita semua mau menerima kertas atau bahkan saldo digital di layar sebagai alat pembayaran? Kuncinya terletak pada kepercayaan terhadap negara dan sistem yang mendukung uang tersebut.

  1. Jaminan Pemerintah dan Legalitas: Uang fiat diterbitkan oleh pemerintah melalui bank sentral, dan dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) untuk semua transaksi. Pemerintah menjamin bahwa uang itu dapat digunakan untuk membayar utang dan kewajiban di negaranya. “Jaminan nilai yang diberikan oleh pemerintah terhadap uang fiat… membuat masyarakat dapat mempercayainya sebagai alat transaksi”. Selama masyarakat yakin pemerintahnya stabil dan tidak mencetak uang sembarangan, kepercayaan ini terjaga. Contoh nyata, kita percaya menerima rupiah karena yakin orang lain di Indonesia juga menerima rupiah tersebut.
  2. Kesepakatan Sosial Luas: Uang pada dasarnya adalah konsensus. Semua orang menerima uang karena tahu orang lain pun demikian. Kepercayaan ini bersifat self-fulfilling: karena semua menerima, maka tiap individu pun bersedia menerima. Bahkan tanpa sandaran emas, uang fiat memiliki nilai karena publik sepakat menilainya berharga untuk membeli barang/jasa. Jika kepercayaan ini hilang (misal saat hiperinflasi ekstrem), uang bisa jatuh nilainya. Oleh sebab itu, bank sentral berusaha menjaga stabilitas nilai uang agar kepercayaan publik tidak luntur.
  3. Kestabilan dan Otoritas: Uang modern didukung oleh institusi seperti bank sentral, sistem perbankan, dan hukum negara. Mereka memastikan peredaran uang terkendali dan mencegah pemalsuan. Faktor kestabilan ekonomi — inflasi rendah, pertumbuhan baik — juga meningkatkan kepercayaan pada mata uang. Sebaliknya, jika ekonomi atau pemerintah kolaps, nilai mata uang bisa runtuh karena kepercayaan hilang. Contoh historis adalah kasus hiperinflasi (misal Jerman 1920-an atau Zimbabwe 2000-an) ketika orang akhirnya enggan memegang mata uang yang terus merosot nilainya.

Singkatnya, uang dipercayai karena “dijamin” oleh kekuatan ekonomi dan hukum. Uang kertas tidak bernilai karena bahannya, tapi karena otoritas yang menerbitkannya dan kepercayaan masyarakat padanya. Uang kripto pun bernilai bagi penggunanya karena ada kepercayaan komunitas terhadap mekanisme blockchain, walau tanpa dukungan pemerintah. Kepercayaan adalah fondasi yang tak terlihat namun krusial dalam sistem moneter apa pun.

Contoh Transisi dari Masa ke Masa (Barter — Logam — Kertas — Digital)

Perjalanan evolusi uang dapat dirangkum dalam beberapa tahap kunci sebagai berikut:

  1. Era Barter: Pertukaran barang dengan barang secara langsung. Contoh: seseorang menukar hasil panennya dengan pakaian dari orang lain. Sistem ini sederhana tapi sulit menemukan kecocokan kebutuhan.
  2. Era Uang Komoditas: Masyarakat beralih menggunakan benda bernilai intrinsik sebagai alat tukar umum. Contoh: logam mulia (emas/perak) mulai digunakan, juga komoditas lain seperti garam, kulit kerang, atau hasil bumi yang dianggap bernilai. Logam mulia unggul sebagai uang karena tahan lama dan disukai luas.
  3. Era Uang Logam (Koin): Pemerintah/kerajaan mencetak koin dari emas, perak, atau tembaga dengan cap resmi. Contoh: koin Lydia abad ke-7 SM sebagai koin pertama[8], lalu koin Romawi, koin dinar/dirham dalam peradaban lainnya. Koin memudahkan perdagangan karena standar nilai terjamin dan mudah dibawa.
  4. Era Uang Kertas: Karena koin logam terbatas dan berat, muncul uang kertas sebagai pengganti. Awalnya berupa surat janji bayar yang bisa ditukar emas/perak (contoh: Jiaozi di Tiongkok Song, atau banknote bank Eropa abad ke-17). Uang kertas memungkinkan transaksi besar dengan mudah, asalkan masyarakat percaya pada jaminan nilainya.
  5. Era Uang Fiat Modern: Uang kertas tidak lagi dijamin tukar emas (pasca 1971). Mata uang menjadi fiat, nilai nominalnya didukung oleh kredibilitas pemerintah dan ekonomi suatu negara. Bank sentral mengontrol jumlah uang untuk menjaga stabilitas. Contoh: hampir semua mata uang nasional saat ini (rupiah, dolar, euro) adalah fiat.
  6. Era Uang Elektronik dan Digital: Akhir abad ke-20 hingga kini, uang banyak beredar dalam bentuk digital. Contoh: saldo rekening bank, kartu kredit/debit, pembayaran mobile dan online. Uang berpindah melalui jaringan komputer, tidak terlihat wujud fisiknya. Selain itu, muncul mata uang kripto yang seluruhnya digital dan tidak bergantung pada negara. Transaksi makin cepat dan lintas batas di era digital.

Sejarah uang menunjukkan adaptasi manusia mencari alat tukar yang paling efisien dan tepercaya. Dari menukar barang, memanfaatkan emas yang berkilau, mencetak simbol kerajaan di koin, menerbitkan janji bayar di selembar kertas, hingga merekam angka digital di server bank — semuanya bertujuan sama: mempermudah transaksi ekonomi. Uang bekerja karena ada kepercayaan bersama akan nilainya. Di masa depan, teknologi mungkin mengubah lagi bentuk uang (misalnya ke bentuk digital sepenuhnya), namun peran uang sebagai sarana vital dalam ekonomi dan sosial dipastikan akan tetap ada[48]. Dengan memahami perjalanan panjang ini, kita dapat lebih menghargai fungsi uang dan pentingnya menjaga kepercayaan terhadapnya dalam masyarakat modern.